News  

Kisah WNI dan Warga Vietnam Jadi Korban Penipuan Kartel Judi Online

Suara.com – Penipuan judi online dan investasi bodong yang telah terjadi di Kamboja setidaknya selama tujuh tahun terakhir menargetkan orang-orang dari negara-negara Asia Tenggara -termasuk warga negara Indonesia- yang membutuhkan pekerjaan.

Para korban terpikat oleh iklan lowongan pekerjaan di media sosial dengan iming-iming gaji tinggi dan persyaratan yang mudah. Mereka kemudian dipaksa bekerja dengan mengajak orang-orang berinvestasi ke dalam perjudian di Kamboja, yang memiliki regulasi lemah terkait ini.

Apabila gagal memenuhi target, mereka dipukuli dan dibiarkan kelaparan di ruang penyiksaan. Beberapa korban bisa bebas setelah membayar uang tebusan, yang didapatkan keluarga mereka dengan cara meminjam ke kerabat hingga rentenir.

Mereka yang tidak mampu membayar tebusan memilih bunuh diri atau dibunuh. Organ-organ tubuh mereka lalu dijual ke negara lain.

Baca Juga:
Isu Jaringan Judi Online Ferdi Sambo, Ananta Rispo Bongkar 2 Bandar

Baca juga:

Salah satu korban asal Vietnam, Chi Tin, kini menanggung utang senilai 88 juta VND atau sekitar Rp55,5 juta dengan bunga 20% per bulan dari rentenir.

Korban lainnya seorang gadis berusia 15 tahun, An (bukan nama sebenarnya), asal provinsi Ben Tre, Vietnam, dibebaskan dengan tebusan USD3.640 (Rp53,7 juta) setelah disiksa dan dijual ke tiga perusahaan.

Penipuan serupa di Kota Bavet, yang dikenal sebagai ibu kota perjudian di Kamboja, juga menjebak dan mempekerjakan 400 warga negara Vietnam serta negara-negara lainnya, termasuk 62 warga negara Indonesia dan 66 warga negara Thailand, yang baru-baru ini berhasil diselamatkan.

Ini adalah kisah Tin. Dia menceritakan kejengkelannya, yang berawal dari obrolan singkat di aplikasi pengiriman pesan Zalo, setelah dia melihat iklan lowongan pekerjaan di Facebook.

Baca Juga:
Ada Dugaan Oknum Polisi Terima Aliran Duit Judi Online, PPATK Bilang Begini

Lowongan pekerjaan itu mensyaratkan keterampilan mengetik dengan upah sekitar US$900 atau Rp13,2 juta per bulan.

Percakapan melalui pesan singkat

Tin: “Bisa kah Anda jelaskan informasi lebih lanjut soal lowongan pekerjaan ini?”

Penipu: “Ya, Anda akan bekerja penuh waktu di Kamboja dengan gaji 23 juta VND (Rp14,5 juta) per bulan. Perusahaan menyediakan tempat tinggal dan makanan. Kontraknya selama enam bulan dengan 15 hari libur.”

Tin: “Saya tidak memiliki keterampilan komputer seperti Microsoft Excel, tapi saya bisa mengetik dengan cepat.”

Penipu: “Jangan khawatir. Perusahaan akan melatih Anda. Anda akan bekerja selama sembilan jam per hari dan libur pada hari Minggu.”

Tin: “Tapi ada banyak peringatan untuk mewaspadai “pekerjaan mudah bergaji tinggi”. Saya akan pikirkan baik-baik dulu, setelah itu saya akan mengabari Anda.”

Penipu: “Perusahaan saya kredibel. Anda bisa berkunjung dulu ke sini, lalu memutuskan setelahnya. Besok ada kunjungan orang-orang Vietnam ke perusahaan. Apakah Anda mau bergabung dengan mereka? Kami bisa menjemput Anda di bandara Tan Son Nhat.”

Tin: “Oke, ini nomor telepon saya, tolong sampaikan ke sopir bahwa saya akan sampai di sana jam 10 pagi.”

Pada 22 Juni, seorang sopir menjemput saya di dekat Bandara Tan Son Nhat dan membawa saya ke Provinsi Long An untuk menjemput seseorang.

Saya bertanya kepada sopir, mengapa kami tidak mengarah ke perbatasan Moc Bai. Dia bilang, kami harus menghindari pemeriksaan keamanan.

Dia mengatakan bahwa dia akan membawa saya ke Kamboja dan menunggu di sana, lalu mengantar saya pulang. Kecurigaan saya pun hilang. Setelah itu, kami menuju perbatasan Binh Hiep.

Chi Tin dibawa ke perlintasan perbatasan di Binh Hiep.

Di perlintasan perbatasan, saya diminta menempuh jalur zig zag menggunakan ojek melewati persawahan untuk masuk ke wilayah Kamboja.

Begitu kami sampai, ada seorang sopir dan seorang anak laki-laki berusia 17 tahun menunggu kami di dalam mobil putih berkapasitas tujuh penumpang dengan plat nomor Kamboja.

Mereka membawa kami ke sebuah perusahaan China di Kota Bavet, yang berdekatan dengan perlintasan perbatasan Moc Bai.

Perusahaan itu berlokasi di kawasan seluas 5.000 m² dengan banyak gedung. Setiap gedung dimiliki oleh dua hingga tiga perusahaan.

Gerbang utamanya berupa pintu dengan dua lapis besi. Pada jarak 50 meter, terdapat gerbang lainnya dengan pos keamanan terletak di sisi kanan.

Setelah menyusuri gedung, ada sebuah pintu menuju kantor dan satu pintu lainnya menuju ke flat.

Flat yang disediakan terlihat seperti asrama pelajar dengan ranjang-ranjang susun.

Terdapat sejumlah pekerja dan penjaga. Para penjaga rutin berpatroli dari gedung ke gedung.

Ada seorang perempuan Vietnam yang mengecek paspor dan sertifikat vaksin Covid kami.

Setelah itu, dia mengecek berapa banyak kata yang bisa kami ketik dalam semenit. Dia tidak menyodorkan kontrak kerja maupun mendiskusikan gaji seperti yang dijanjikan.

Perempuan itu kemudian menyuruh kami beristirahat dan memberi sabun mandi, krim, serta sikat gigi. Dia meminta saya untuk mulai bekerja esok harinya pada pukul 10 pagi.

“Saya datang ke sini untuk berkunjung dalam sehari, bukan untuk bekerja dan sopir akan mengantar saya pulang ke Vietnam,” kata Tin.

“Saya datang ke sini untuk berkunjung dalam sehari, bukan untuk bekerja dan sopir akan mengantar saya pulang ke Vietnam,” kata Tin.

Perempuan itu menjawab, “Kamu dijebak oleh mereka dan saya sudah membeli kamu seharga US$2.400 (Rp35,5 juta)”

“Kamu dijebak oleh mereka dan saya sudah membeli kamu seharga US$2.400 (Rp35,5 juta),” jawab perempuan itu.

Esok harinya, saya harus bekerja selama 12 jam mulai pukul 10 pagi dengan waktu istirahat selama 30 menit pada jam 11 siang dan 5 sore.

Mereka memberi saya kartu SIM dari operator Vietnam seperti Viettel, Vina, dan Mobifone untuk membuat akun Zalo dengan foto laki-laki tampan dan perempuan cantik.

Saya diajarkan cara berbicara, berkonsultasi dan mengobrol. Saya harus menghubungi 15 orang setiap hari. Setidaknya lima dari mereka harus menyetorkan uang ke permainan judi, taruhan, dan lotere online sebesar 100 VND hingga 50 juta VND (Rp31,7 juta).

Saya juga harus bisa mengajak tiga sampai lima orang Vietnam untuk datang ke perusahaan kalau saya ingin pulang ke rumah.

Manajer meminta saya bekerja dengan patuh, tidak melawan, dan tidak melarikan diri. Kalau tidak, saya akan dibawa ke ruang penyiksaan untuk disetrum dan dipukuli. Kalau saya bekerja dengan baik, saya akan baik-baik saja.

Tetapi, banyak yang bercerita kalau saya tidak bisa memenuhi target, saya akan dibiarkan kelaparan dan dipukuli.

Tin: “Berapa banyak uang tebusan untuk membebaskan saya?”

Manajer: “US$2.600 (Rp38,5 juta)”

Manajer: “Kalau kamu bertahan dan tetap bekerja, tidak apa-apa, tapi sekarang kamu meminta keluar, perusahaan menilai kamu tidak mau bekerja, jadi dalam satu sampai dua hari kamu harus mentransfer uang ke perusahaan. Jika tidak, perusahaan akan menjualmu ke Sihanoukville atau Phnom Penh, bahkan menjualmu ke Thailand untuk menyelundupkan organ-orang tubuhmu.”

Mereka memberi saya sebuah kartu SIM, sehingga saya bisa mengabari keluarga saya untuk membayar tebusan.

Keluarga saya meminjam uang 88 juta VND (Rp55,5 juta) dari rentenir demi membebaskan saya.

Ketika uang tebusan sudah ditransfer, mereka memaksa saya menghapus semua data telepon.

Manajer meminta Tin menghapus seluruh bukti-bukti.

“Saya takut mereka hanya akan mengambil uang tebusan, lalu menjual saya ke perusahaan lain. Jantung saya berdebar dan saya khawatir.”

Saya bertanya kepada manajer dan dia meyakinkan saya, bahwa ini adalah perusahaan bereputasi, kata dia.

Pada 25 Juni, keluarga saya datang ke perbatasan Moc Bai dan menunggu saya di gerbang perusahaan.

Mereka pun membawa saya melewati empat lapis pemeriksaan keamanan untuk keluar dari gedung dan menemui keluarga saya.

Saya menangis begitu melihat ibu saya. Dia sudah tua dan tampak sangat khawatir. Saya bersyukur atas usaha ibu dan kakak laki-laki saya untuk menyelamatkan saya.

“Ibu dan kakakku tersayang, terima kasih karena tidak pernah menyerah denganku.”

Kami pulang ke Vietnam pada hari itu juga. Saya beruntung bisa kembali ke rumah dengan selamat.

Korban dari Indonesia

Penipuan kerja dengan modus serupa juga menimpa sejumlah warga negara Indonesia, salah satunya Rendi – bukan nama sebenarnya.

Rendi pertama kali melihat lowongan pekerjaan sebagai customer service di Kamboja itu di Facebook, dengan iming-iming gaji sebesar USD1.200 (Rp17,8 juta) per bulan.

Sebagai orang dengan pengalaman bekerja di luar negeri, terutama di Timur Tengah, Rendi mencoba mencari tahu melalui Whatsapp.

Rendi sempat diwawancarai oleh penipu tersebut. Awalnya dia ragu, karena si penipu yang mulanya dia kira sebagai staf personalia di perusahaan itu, tidak memberikan kontrak kerja.

Namun si penipu meyakinkan bahwa kontrak kerja akan diberikan begitu Rendi tiba di perusahaan. Dia pun memutuskan untuk berangkat ke Kamboja.

“Yang membuat saya yakin mereka membuka lowongan kerja ini di… istilahnya beberapa agensi yang sebetulnya legal,” kata Rendi kepada wartawan BBC News Indonesia, Nicky Aulia Widadio.

Si penipu pun membelikan dan mengirimkan tiket keberangkatan kepada Rendi pada tanggal yang telah disepakati pada Mei lalu.

Begitu tiba di bandara, dia langsung dijemput oleh si penipu tersebut.

Dia kemudian dibawa ke perusahaan yang berlokasi di Sihanoukville.

Baru belakangan Rendi mengetahui bahwa orang yang dia kira sebagai staf personalia itu sebetulnya adalah agen penyalur yang mendapat komisi sebesar USD2.000 (Rp29,7 juta) untuk setiap orang yang mereka jebak.

Dalam ingatan Rendi, perusahaan itu terletak di area dengan banyak gedung seperti apartemen. Di setiap gedung terdapat ruangan-ruangan untuk kantor, juga flat.

Pada hari pertama bekerja, Rendi diminta membuat akun media sosial palsu menggunakan foto dari model-model yang juga dipekerjakan di perusahaan itu.

Dia kemudian diminta membuat pertemanan dengan calon-calon korbannya melalui media sosial Facebook, Twitter, Instagram, hingga aplikasi kencan.

Targetnya adalah perempuan-perempuan di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Vietnam.

Pada masa-masa awal itu, Rendi belum diberi target. Namun dari cerita orang-orang yang juga dipekerjakan di situ, dia mengetahui bahwa setiap tim yang terdiri dari enam hingga tujuh orang ditargetkan mendapatkan USD35.000 (Rp520 juta) per bulan.

Berkedok hubungan asmara

Rendi diminta untuk mendekati orang-orang yang potensial mencari korbannya dengan membangun pertemanan.

Dia harus mencari tahu keseharian hingga pekerjaan korban, bahkan membangun hubungan asmara dengan calon korbannya.

Untuk meyakinkan para korban bahwa pelaku ini “nyata”, perusahaan pun bersedia memodali.

“Misalnya kalau dia minta sampai kirim bunga, kalau memang dia potensinya besar, itu akan dikirim. Bos enggak masalah. Apalagi kalau [korban] sudah investasi,” ujar Rendi.

Apabila target sebesar USD35.000 sudah tercapai, maka mereka pun akan memutuskan komunikasi dan menghilang dari korban.

Uang itu didapat dengan menjebak korban menyetorkan uang untuk investasi bodong, menjual tiket palsu pertandingan Piala Dunia Qatar, atau belanja online di platform e-commerce palsu tanpa pernah mengirimkan barangnya.

Tak digaji, disiksa, dan disetrum

Selama bekerja di perusahaan itu, Rendi mengatakan dia tidak pernah digaji.

Dengan dalih kinerjanya tidak memenuhi target, Rendi pun diopor-opor di antara tiga perusahaan tanpa digaji.

“Dibilang customer saya kurang lah, target dari customer itu kurang, tapi nyatanya setelah saya keluar pun mereka tetap pakai customer saya.”

“Teman-teman yang sudah punya target juga, dia dioper lagi, dijual lagi ke perusahaan lain. Hanya dimanfaatkan saja, dikuras saja,” tutur Rendi.

Selama di perusahaan itu, Rendi juga mengaku pernah mengalami kekerasan, namun dia belum bisa mengungkapkannya secara rinci.

“Saya masih trauma. Ada beberapa teman yang… meninggal juga [disiksa].”

Penyiksaan seperti disetrum dan diborgol, kata dia, menjadi hal yang umum dibicarakan antar para pekerja bila dianggap tidak bekerja dengan baik dan memenuhi target. Situasi itu pula yang mendorong Rendi mencari cara untuk keluar dari perusahaan itu.

Namun, apabila dia mengundurkan diri, Rendi harus membayar penalti sebesar USD11.000 (Rp163,5 juta) kepada perusahaan.

Rendi akhirnya mencari cara untuk kabur. Suatu hari, di tengah hujan, ketika dia berada di luar karena hendak dipindahkan ke perusahaan serupa lainnya, Rendi berhasil kabur.

Dia langsung mencari angkutan umum untuk pergi ke ibu kota Pnom Penh dan mendatangi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).

Pada 2 Agustus 2022, Rendi akhirnya berhasil pulang ke Indonesia.

Tim produksi

Teks dan produksi oleh Bui Thu dan Aghnia Adzkia, disunting oleh Bruno Garcez dan Giang Nguyen, ilustrasi oleh Davies Surya, desain oleh Arvin Supriyadi, pengembangan oleh Ayu Widyaningsih Idjaja dan Scott Jarvis


Artikel ini bersumber dari www.suara.com.

Tinggalkan Balasan