Problematika Kebijakan Negara Atas Papua

TIGA Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua telah disahkan menjadi UU, namun penolakan terus terjadi. Hal ini hampir sama dengan respons terhadap UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua hasil revisi.
 
Di beleid itu, pemekaran menjadi salah satu pasal yang dibahas. Namun, dipersoalkan dan kemudian digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Majelis Rakyat Papua (MRP).
 
Sampai hari ini MK belum metetapkan keputusan atas judicial review (JR) terhadap UU Otsus yang baru tersebut. Mengapa kebijakan negara cenderung menuai problematik bahkan hampir selalu menghadapi resistensi dari Papua?


Problematika Kebijakan Negara Atas Papua

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Bila ditinjau dari pendekatan kebijakan publik, sebuah kebijakan ditetapkan berdasarkan beberapa pendekatan atau pertimbangan. Seperti, rationalitas persoalan, berdasarkan proses uji coba atau kajian dan hasil analisis, ataupun berdasarkan pertimbangan kelompok, bahkan juga individu.
Untuk menentukan pendekatan mana yang tepat, perlu dipahami bahwa sebuah kebijakan yang baik tidak ditetapkan berdasarkan sentimen publik semata. Harus pula berdasarkan pada hal-hal sebagai berikut:
 
Pertama, pemetaan dan pemahaman akar masalah yang selama ini menjadi sumber perdebatan. Kedua, dinamika politik keamanan, ekonomi, dan sosial budaya yang terjadi karena sebagian bersumber dari masalah di masa lalu yang tidak berhasil diselesaikan.
 
Ketiga, proses pengambilan keputusan yang tidak partisipatif. Keempat, urgensi penyelesaian masalah tertentu karena dampak yang tidak diharapkan. Kelima, kepentingan para pihak, baik yang bersifat tunggal maupun plural.
 
Apabila kebijakan negara dimaksudkan untuk menyelesaikan konflik seperti Papua, maka prosesnya memerlukan mempertimbangkan secara lebih mendalam. Misalnya mengenai sumber konflik, baik yang bersifat politik (kebijakan pembangunan), ekonomi (investasi), maupun sosial budaya (hak adat).
 
Konflik politik Papua terjadi karena terdapat perbedaan perspektif dalam memahami proses sejarah karena pengalaman dan keyakinan sebagian orang Papua berbeda dengan Pemerintah Indonesia. Perbedaan ini telah diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia melalui cara politik formal, namun kurang mempertimbangkan kelompok rakyat Papua yang meyakini adanya nilai yang bertentangan antara sistem kekuasaan nasional dengan yang dipahami dan dialami oleh orang Papua.
 
Meskipun sama-sama memahami prinsip demokrasi, Papua mengalami atau berada di dalam dua proses secara bertingkat antara demokrasi lokal kemudian nasional. Dari mana proses harus dimulai, apakah lokal dulu kemudian nasional ataupun sebaliknya?
 
Hal-hal ini belum pernah dibahas secara terbuka, baik di dalam internal Papua maupun dengan Pusat. Akibatnya, proses kebijakan berjalan paralel tanpa pernah mencapai titik temu untuk mencapai kesamaan pemahaman atas sebuah isu atau persoalan.
 
Pada tingkat internal Papua, keragaman budaya yang tinggi cenderung memerlukan proses politik yang lebih lama. Namun, fakta ini mungkin dianggap merugikan dari segi waktu dan juga biaya.
 
Di dalam kasus pemekaran DOB misalnya. Pegunungan Bintang bahkan menginginkan provinsi sendiri terpisah dari provinsi induk. Ini merupakan bukti bahwa Papua (sedang) menghadapi masalah internal yang tidak selalu mudah untuk diatasi.
 
Pemekaran DOB menjadi momentum dan sebuah kesempatan untuk menyatakan diri “berpisah” dari Jayapura, namun juga tidak bersedia bergabung dengan Pegunungan Tengah. Bagaimana Pusat dan Papua akan merespons aspirasi ini?
 
Sejak penolakan Otsus ditambah masalah DOB, ada tiga hal yang patut dimengerti dalam konteks pengambilan keputusan terhadap Papua. Pertama, proses politik menjadi hal yang krusial dalam membahas dan menetapkan hasil pembahasan.
 
Kedua, substansi yang dibicarakan dari segi urgensi dan realita yang dihadapi oleh masyarakat Papua bukan hanya menurut sudut pandang para elite. Ketiga, representasi dan partisipasi Papua dalam proses pembahasan dan pengambilan keputusan.
 
Tiga hal itu dapat menjadi acuan dalam merumuskan kebijakan yang lebih mendasar dan sesuai dengan kondisi-kondisi khusus di Papua. Bukan sekadar mengikuti sentimen publik, baik yang ada di Papua maupun di luar Papua.
 
*Adriana Elisabeth, Aktivis Jaringan Damai Papua
 


Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.

Tinggalkan Balasan