Integrasi BRIN: Peneliti “nganggur” usai dilebur?

“Pada proses peralihan pegawai, Ombudsman menemukan adanya penyimpangan prosedur oleh pihak BRIN karena peralihan pegawai merupakan amanat undang-undang yang seharusnya merupakan kewenangan Kemenpan-RB (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi),” ujar anggota Ombudsman, Robert Na Endi Jaweng dalam keterangan pers.

Robert mengatakan, berdasarkan hasil investigasi, BRIN tak siap dalam menerima peralihan pegawai. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya peneliti yang tak dapat melakukan kegiatan riset lantaran terkendala aset, struktur organisasi, dan anggaran.

Seorang pranata nuklir melakukan pembuatan pelet dari serbuk uranium untuk dijadikan bahan bakar reaktor nuklir di kawasan Reaktor Nuklir Puspiptek, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (11/9/2019). /Foto Antara/Muhammad Iqbal

Segala masalah tadi membuat peneliti dan perekayasa berpotensi “menganggur”. Djarot melanjutkan, BRIN pun tak punya target selain karya tulis ilmiah.

“Padahal orang nuklir seperti kami, butuh semacam guide, berupa grand design atau rencana strategis, kita itu mau bikin apa?” kata dia.

Ia pun menyebut, anggaran OR Tenaga Nuklir tahun 2022, yang semula Rp30 miliar dipotong menjadi Rp15 miliar. “Jadi, yang sudah mengajukan anggaran, bahagia. Yang belum kan berproses. Lambat,” ujarnya.

“Akhirnya mereka diminta menunggu kegiatannya untuk tahun berikut. Berarti kan menganggur itu setengahnya.”

Menurut seorang sumber Alinea.id di BRIN, peneliti dan perekayasa menganggur karena lembaga itu belum punya sasaran kinerja yang detail, selain publikasi riset. Merujuk Pasal 8 Ayat 2 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS), salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam proses penyusunan sasaran kinerja pegawai adalah perencanaan strategis instansi pemerintah.

Dalam Pasal 11 Ayat 1 PP itu disebut, kinerja utama yang dicapai PNS setiap tahun merupakan penjabaran dari kinerja utama atasan langsung, yaitu kinerja utama bagi pejabat pimpinan tinggi adalah penjabaran sasaran unit/organisasi, kinerja utama bagi pejabat administrasi adalah penjabaran kegiatan atasan langsung, dan kinerja utama bagi pejabat fungsional adalah akumulasi nilai pelaksanaan butir-butir kegiatan jabatan fungsional yang sesuai dengan penjabaran sasaran unit/organisasi dan/atau kegiatan atasan langsung.

“Faktanya, BRIN sampai sekarang belum punya renstra (rencana strategi), sasaran kinerja,” ujar sumber Alinea.id yang bekerja sebagai perekayasa di BRIN, Selasa (5/7).

“Sehingga pegawai apa pun, (termasuk) peneliti dan perekayasa, jabatan fungsionalnya itu tidak bisa berkinerja sesuai dengan amanat dari PP tersebut.”

Hal itu mengakibatkan peneliti dan perekayasa BRIN tak bisa bekerja optimal. Imbasnya, ia mengaku melakukan tugas berdasarkan inisiatif, seperti membaca buku atau menulis jurnal.

Lebih lanjut, ia mengatakan, BRIN seharusnya menjalankan fungsinya secara utuh. Tak hanya mengintegrasikan sumber daya manusia, anggaran, dan aset, tetapi juga tugas, fungsi, dan program.

“Program-program itu semua harusnya dibawa ke BRIN, kemudian diturunkan ke organisasi yang terkecil,” katanya.

“Nah, itu kan tidak ada dan tidak dilakukan oleh BRIN, sehingga memunculkan kekosongan mekanisme manajemen kinerja dari periset BRIN.”

Pasal 65 Ayat 1 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2021 tentang BRIN menyebut, tugas, fungsi, dan kewenangan pada unit kerja yang melaksanakan penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi di lingkungan kementerian/lembaga dialihkan menjadi tugas, fungsi, dan kewenangan BRIN.

Sedangkan Pasal 70 Ayat 1 Perpres 78/2021 menyatakan, tugas, fungsi, dan kewenangan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), BATAN, dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) dialihkan menjadi tugas, fungsi, dan kewenangan BRIN. Peralihan tersebut harus selesai paling lama satu tahun sejak perpres berlaku.

“Program yang diintegrasikan kan enggak ada. Justru yang terjadi adalah dihilangkan,” ucapnya.

Atas dasar itu, ia mengatakan, segala hal yang terkait aset dan anggaran sebetulnya hanya mengikuti saja ketika ada program.

Belum diintegrasikannya program lembaga oleh BRIN, turut berimbas pada proyek yang sudah digarap bertahun-tahun. Contohnya, kata Djarot, dahulu BATAN menggagas studi untuk PLTN di Kalimantan Barat. Namun, setelah diintegrasi ke BRIN, program tersebut terancam kandas karena BRIN beralasan pembangunan PLTN terkait business to business.

Akhirnya, sumber daya manusia yang sudah disiapkan untuk menggarap program itu, bubar usai masuk ke BRIN.

“Menganggap apa yang sudah dilakukan BATAN dan kawan-kawan itu salah,” ujarnya. “Semua dianggap tidak tepat, sehingga seperti zero lagi diriset.”

Walau demikian, Djarot paham kalau lembaga tempatnya bekerja sedang menghadapi kesulitan lantaran proses integrasi anggaran dan fasilitas riset dari kementerian/lembaga (K/L) belum tuntas.

Riset tetap bisa berjalan

Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko. /Foto dok. BRIN

Sumber Alinea.id di BRIN yang sebelumnya merupakan peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara Kementerian Pertanian (Kementan) mengaku belum ada kendala usai diintegrasi ke BRIN. Ia dan rekan-rekannya resmi bergabung ke BRIN pada 1 Juni 2022. Sehingga masih berkutat pada administrasi untuk penempatan di OR dan pusat riset sesuai kepakaran.

“Setelah itu, kami baru bisa mengusulkan proposal (penelitian),” ujarnya, Selasa (5/7).

Ia menjelaskan, proses peralihan sudah berlangsung sejak November 2021. Namun, terkendala kelengkapan administrasi.

Selama masa tunggu itu, sejak Januari 2022 para peneliti yang akan pindah ke BRIN sudah tak dapat dana riset dari Kementan. Meski masih bisa melakukan kegiatan penelitian secara mandiri atau kolaborasi.

“Misalnya, saya bisa kolaborasi dengan teman-teman yang sudah di BRIN, yang dari eks LIPI waktu itu,” tuturnya.

Kini, setelah resmi tergabung dalam BRIN, ia mengatakan masih bekerja di kantor BPTP di Kendari. Peneliti eks BPTP yang pindah ke BRIN sudah diberi ruangan khusus di kantor tersebut. Akan tetapi, fasilitas penunjang riset, seperti laptop dan kamera yang merupakan aset BPTP telah ditarik sejak akhir 2021.

Adapun mengenai laboratorium, ia mengaku, secara resmi belum ada pengaturan karena hal itu kewenangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

“Di BRIN juga menyediakan beberapa laboratorium yang sudah cukup advance ya teknologinya,” katanya. “Masalah sampel itu bisa dikirim. Jadi, belum ada kendala aset atau infrastruktur.”

Sementara itu, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menjelaskan, dalam konteks peralihan, BRIN bertindak sebagai penerima—baik pegawai, aset, program, dan anggaran. Proses itu melibatkan Kemenpan-RB, Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kemenkeu, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

“Sehingga kami pasti siap karena tinggal menerima saja,” ujar Handoko, Rabu (6/7).

“Pengalihan periset ke BRIN baru dilakukan pada Januari, dilanjutkan Maret, Juni, dan Juli 2022. Jadi belum ada periset K/L (kementerian/lembaga) yang setahun ada di BRIN.”

Soal peneliti yang tak bisa melakukan riset, Handoko mengatakan, usai ditelusuri mereka adalah periset dari K/L yang dialihkan ke BRIN. Namun, menurutnya, kondisi itu terjadi di instansi asal para peneliti. Sebab, tahun anggaran 2021 semua K/L mengalihkan alokasi anggaran riset ke dirjen teknis, agar tak dialihkan oleh Kemenkeu ke BRIN.

“Otomatis periset yang masih berstatus di K/L banyak yang tidak bisa melaksanakan risetnya,” ujar dia. “Tetapi, tentu ini masalah di K/L, bukan di BRIN.”

Handoko mengklaim, seluruh periset yang ada di BRIN pasti bisa melaksanakan penelitian. Hanya saja, mereka belum tentu bisa melaksanakan riset seperti program sebelumnya.

Infografik BRIN. Alinea.id/Debbie Alyuwandira

“Karena dengan integrasi ke BRIN dilakukan pula evaluasi atas semua program riset yang telah dan sedang dilakukan,” ucap Handoko.

“Banyak sekali program riset yang tumpang-tindih, akhirnya dijadikan satu dan seterusnya.”

Terkait renstra, Handoko pun menuturkan, BRIN sudah memilikinya. Karena hal itu terkait pula dengan anggaran. Sedangkan soal pemotongan anggaran riset, seperti yang disinggung Djarot, menurut Handoko kebijakan itu terjadi di semua K/L. Tujuannya untuk mengehemat APBN lewat Kemenkeu, guna membiayai dampak naiknya harga komoditas dan BBM.

“Tetapi anggaran bukan menjadi input satu-satunya aktivitas riset karena infrastruktur riset dan SDM tercukupi,” tuturnya.

“Dua komponen ini justru berperan lebih penting dalam melaksanakan aktivitas riset.”

Menurut Handoko, pihaknya juga sudah menerima usulan pengalihan aset dari Kementan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek).

Dari usulan pengalihan aset tersebut, kata Handoko, tak banyak yang diterima BRIN. Sebab, evaluasi dilakukan secara rasional, sesuai kebutuhan dan proyeksi riil.

“Sehingga tak berpotensi menjadi beban dalam jangka panjang,” ujar dia.

Handoko pun menegaskan, dengan manajemen infrastruktur terbuka yang ada di BRIN, para periset bisa memanfaatkan fasilitas di berbagai lokasi, sesuai kebutuhan. Menurutnya, secara umum, dengan fasilitas dan anggaran yang ada saat ini, semua riset yang disetujui bisa dilakukan.

“Saat ini pengintegrasian kelembagaan, program, dan SDM telah selesai. Yang masih berproses bersama Kemenkeu hanya aset dan anggaran,” ujarnya.


Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.

Tinggalkan Balasan