Benarkah Program Bansos Sebabkan Harga Telur Naik?

Merdeka.com – Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan membeberkan penyebab mahalnya harga telur ayam di pasaran saat ini. Salah satunya program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang memengaruhi stok di pedagang sehingga harga telur ayam ras terus naik.

Berdasarkan pantauan situs resmi Kementerian Perdagangan, tercatat per 24 Agustus 2022 harga telur ayam ras di tingkat eceran mencapai Rp31.000 per kilogram atau naik sekitar 2,9 persen dibandingkan seminggu sebelumnya dan naik sekitar 6,1 persen dibandingkan sebulan sebelumnya.

“Kemensos kebetulan merapel programnya tiga bulan sekaligus. Telur lagi dibeli. Jadi satu afkir dini, kedua Kemensos bantuan tiga bulan dirapel. Bantuan telurnya banyak, jadi (harga) naik,” kata Mendag Zulkifli saat ditemui di kawasan Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (24/8).

Karena harganya yang terlalu rendah, peternak memutuskan melakukan afkir dini dengan memotong ayam petelur guna mengurangi produksi indukan agar tidak bertelur dan menjadi bibit ayam. Di saat yang sama, distribusi telur dalam skala besar untuk program bantuan sosial (bansos) dinilai menyebabkan permintaan telur ayam meningkat di pasaran dan berdampak pada kenaikan harga.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Azizah Fauziah menyatakan program BPNT yang menyerap banyak supply telur di pasaran bisa menjadi salah satu faktor mengapa harga telur naik. Sebab, telur termasuk salah satu komoditas pangan yang bisa dibeli penerima manfaat.

Meski demikian, program bansos ini tak bisa disalahkan atas kenaikan harga telur ayam.

“Tapi perlu dicatat juga kalau semua pihak juga berdampak pada kenaikan harga telur. Jadi bansos tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas kenaikan harga telur yang sedang terjadi,” kata Azizah saat dihubungi Merdeka.com, Senin (29/8).

Dia menjelaskan, salah satu penyebab kenaikan harga telur adalah karena tingginya harga jagung di pasar tradisional, karena jagung merupakan bahan utama pakan ternak. “Ada beragam permasalahan selain tidak stabilnya harga pangan seperti contohnya kurangnya kelancaran distribusi dan koordinasi antar lembaga pemerintah,” imbuhnya.

Dari dalam negeri, peternakan ayam petelur rata-rata masih dalam skala kecil sehingga biasanya mereka cenderung tidak dapat memanfaatkan skala ekonomi dan belum memiliki standar budidaya ternak ayam petelur yang optimal. Menurutnya, dengan adanya peningkatan infrastruktur peternak dapat dilakukan dengan kolaborasi antar peternak untuk memperluas dan mengintegrasikan peternakannya.

“Hal ini dapat pula mencegah terjadinya monopoli di industri unggas. selain itu, hal ini dapat mengurangi biaya produksi karena peternakan dapat membeli pakan dalam jumlah besar,” terang Azizah.

Dalam penelitian yang ditemukan oleh pihaknya, harga jagung di Indonesia memang cenderung lebih tinggi dari harga internasional dari tahun ke tahun. Hal ini terjadi salah satunya karena pembatasan impor jagung untuk pakan di Indonesia. Permendag Nomor 20 tahun 2021 lalu menyatakan bahwa impor jagung untuk pakan hanya diperuntukan bagi BUMN yang memiliki Angka Pengenal Importir Umum (API-U).

Lebih lanjut, inti masalahnya adalah Indonesia masih membutuhkan impor jagung tetapi harga jagung internasional sedang tinggi karena berbagai hal, misal konflik internasional dan krisis iklim. “Jagung merupakan komponen utama pakan ayam, penghasil telur. Jadi ini adalah sebuah mata rantai yang panjang,” tandasnya.

Baca juga:
Target Serba Dua Pekan ala Presiden Jokowi
Jokowi Janji Harga Telur Turun dalam Dua Pekan
INFOGRAFIS: Harga Telur Ayam, Pecah!
Strategi Badan Pangan Nasional Turunkan Harga Telur
Jagung Pakan Ternak Masih Impor Jadi Biang Kerok Mahalnya Harga Telur Ayam
Siasati Kenaikan Harga Telur Ayam, Peternak di Cianjur Buat Pakan Ternak Sendiri


Artikel ini bersumber dari www.merdeka.com.

Tinggalkan Balasan