Kapan Waktu yang Tepat Bagi RI Potong Rp 1.000 Jadi Rp 1?

Kapan Waktu yang Tepat Bagi RI Potong Rp 1.000 Jadi Rp 1?

cnbc-indonesia.com – Upaya redenominasi rupiah atau penghapusan nol dalam mata uang rupiah kembali mencuat setelah sempat menjadi pembahasan hangat di tahun 2020. Utamanya, sejak Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi Rupiah masuk dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024 oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020.

Sejumlah kalangan kembali menanyakan kapan waktu yang tepat bagi Indonesia untuk melakukan redenominasi rupiah, mengingat ada begitu banyak hal yang perlu dipertimbangkan sebelum mengambil langkah ini.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai redenominasi belum tepat jika dilakukan saat ini. Menurutnya, ada beberapa pertimbangan yang perlu dicermati sebelum melakukan redenominasi, yakni stabilitas inflasi harus terjaga.

Ia mengatakan prakondisi ideal harus menunjukkan bahwa inflasi kembali ke level prapandemi Covid-19 terlebih dulu atau di kisaran 3%. Bahkan, menurutnya, apabila lebih rendah dari level tersebut, maka akan lebih baik.”Pertimbangan utama jika memaksa redenominasi di saat inflasi masih tinggi adalah kekhawatiran terjadinya hiperinflasi. Ini dipicu oleh perubahan nominal uang hasil redenominasi mengakibatkan para pedagang untuk menaikkan pembulatan harga ke atas,” terangnya kepada CNBC Indonesia, Selasa (21/3/2023).

“Misalnya harga barang sebelum pemangkasan nominal uang Rp 9.200 kemudian nggak mungkin kan jadi Rp 9,5 pascaredenominasi, yang ada sebagian besar harga dijadikan Rp 10. Ada pembulatan nominal baru ke atas. Akibatnya harga barang akan naik signifikan. Ini sulit dikontrol oleh pemerintah dan BI. Akibatnya apa? Hiperinflasi bahkan bisa mengakibatkan krisis kalau tidak hati-hati,” lanjutnya mengingatkan.Selain itu, Bhima mengatakan pemerintah perlu belajar dari kegagalan redenominasi yang terjadi di Brasil, Rusia, dan Argentina. Ia menilai hal tersebut terjadi karena kurangnya persiapan teknis, sosialisasi, rendahnya kepercayaan terhadap pemerintah, hingga momentum saat ekonomi alami tekanan eksternal.

Menurut Bhima, dengan jumlah penduduk dan unit usaha yang besar di Indonesia, setidaknya butuh waktu 10 tahun persiapan sejak regulasi redenominasi dibuat.”Menjelang pemilu risiko redenominasi gagal juga tinggi,” tambahnya.Lebih lanjut, dia mengatakan di tengah momentum pemulihan ekonomi yang saat ini sedang dilakukan di Indonesia, sebaiknya jangan ada kebijakan yang kontraproduktif. Penyesuaian terhadap nominal baru akan mempengaruhi administrasi dan akuntansi puluhan juta perusahaan di Indonesia.”UMKM saja ada 64 juta unit usaha. Alih-alih mau fokus dalam fase pemulihan ekonomi, pelaku usaha akan sibuk mengatur soal nominal harga di barang yang dijual, bahan baku bahkan administrasi perpajakan,” ujar Bhima.

Untuk itu, dia menilai momentum redenominasi perlu dikaji secara serius, jangan terburu-buru dan benar-benar ketika kondisi ekonomi sudah stabil. Menurut Bhima,, ketika inflasi stabil, kurs tidak fluktuatif berlebihan, barulah Bank Indonesia (BI) dan pemerintah membahas redenominasi.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Agus Herta Sumarto mengatakan, untuk memutuskan redenominasi perlu memerhatikan kondisi ekonomi, pasar keuangan, dan kondisi “kegelisahan” pasar. Jika preferensi dan sentimen pasar dinilai kuat dan mampu memahami latar belakang di balik redenominasi tersebut, menurutnya, langkah redenominasi dapat dilakukan.”Pada kondisi yang serba tidak pasti, redenominasi malah bisa berpotensi menimbulkan sentimen negatif karena akan banyak isu yang berkembang yang bisa saja kontraproduktif dengan tujuan awal yaitu meningkatkan citra positif mata uang rupiah,” jelasnya.Lebih lanjut, dia mengatakan dalam kebijakan redenominasi ini, BI dan pemerintah harus seiring dan seirama. Namun, ia menilai seharusnya tanggung jawab terbesar ada di BI karena yang bertugas menjaga stabilitas nilai mata uang adalah BI.”BI seharusnya menjadi lembaga yang paling memahami kapan timing yang tepat dan risikonya seperti apa termasuk bagaimana mengelola risiko tersebut dengan baik. Bahkan dengan independensinya, BI bisa saja menolak permintaan redenominasi dari pemerintah jika menurut BI dampaknya malah buruk terhadap perekonomian,” ujarnya.

error: Content is protected !!