Beda Menkes, DJSN & Bos BPJS Kesehatan Soal Hapus Kelas 1,2,3

Beda Menkes, DJSN & Bos BPJS Kesehatan Soal Hapus Kelas 1,2,3

cnbc-indonesia.com – Implementasi kelas rawat inap standar (KRIS) dengan menghapus kelas 1, 2, dan 3 pada layanan BPJS Kesehatan, yang diusung oleh Kementerian Kesehatan dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), mendapat penolakan Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti.

Seperti diketahui, baik Kemenkes dan DJSN, sepakat, bahwa KRIS merupakan layanan kesehatan dengan sistem satu kelas dengan satu tarif iuran kepada pesertanya. Sehingga BPJS tidak perlu lagi menyediakan layanan kesehatan rawat inap dengan tingkatan kelas, baik kelas 1, 2, dan 3.

Menurut Ali Ghufron, jika nantinya konsep itu diterapkan, maka sama saja menyalahi konsep asuransi sosial. Karena, tidak ada lagi unsur gotong royong dalam pembiayaan jasa layanan kesehatan di rumah sakit, jika tarif pesertanya ikut-ikutan terstandardisasi.

“Tadi dikatakan nanti iurannya satu, katanya ada yang menghitung Rp 70 ribu, itu menyalahi prinsip dasar asuransi kesehatan sosial karena asuransi kesehatan sosial dibangun atas unsur gotong royong, saling membantu, kalau si kaya, si miskin bayar sama, gotong royongnya di mana?.” kata Ali Ghufron saat melakukan rapat kerja di Komisi IX DPR, Jakarta beberapa hari lalu, dikutip Kamis (23/3/2023).

Lagipula, dengan adanya konsep satu tarif iuran untuk satu pelayanan kesehatan di ruang rawat inap, menurut Ali Ghufron, APBN belum tentu cukup untuk menaikkan besaran iuran, yang harus ditanggung dalam cakupan Penerima Bantuan Iuran (PBI).

“Katakan pemerintah membayar Rp 42.000 (iuran PBI saat ini) jadi Rp 70.000, atau Rp 35.000 jadi Rp 70.000, dua kali lipat. Ada nggak uangnya? Kita belum tanya Kemenkeu, jadi ini semua harus jelas menurut saya karena kalau membedakan iuran dan tarif masih persoalan, ini harus jelas,” jelasnya.

Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menganggap definisi kelas standar itu sebetulnya merujuk pada konsep satu standar pelayanan di ruang rawat inap rumah sakit dengan skema iuran para pesertanya yang juga standar.

Artinya iuran BPJS nantinya akan satu tarif untuk memperoleh 1 kelas khusus bagi mereka di ruang rawat inap RS.

“Jadi iuran nanti ke ke BPJS itu satu dengan mekanisme yang ada. Sekarang ada yang fix, ada yang persentase, tapi itu iurannya satu, dia dapatnya satu kelas untuk iuran ini,” kata Budi.

Anggota DJSN Raden Harry Hikmat juga melontarkan sudut pandang yang sama dengan Budi. Ia mengatakan, kelas standar itu memang kelas rawat inap yang dari sisi pelayanan dasarnya telah terstandardisasi, termasuk peralatan fisiknya, hingga tarif iuran pesertanya itu sendiri yang hingga kini masih dihitung aktuaria.

“Secara konsekuen ketika ada penyesuaian ke tarif, itu berdasarkan KRIS kan harusnya sama tarifnya, untuk rawat inap masuk ke ruangan dengan standar yang ada harusnya kontribusi untuk bayar tarif inap itu sama, harusnya one class one tariff,” ujar Raden.

Maka dari itu, dia melanjutkan, konsekuensi berikutnya RS harus bisa menyesuaikan dari sisi sarana dan prasarananya untuk menunjang pelayanan kesehatan melalui 12 kriteria yang telah ditetapkan. 12 kriteria ini menjadi rujukan untuk diterapkannya KRIS.

“Yang distandarkan dari 12 indikator itu lebih kepada standar rawat inap untuk sarana prasarana. Sebetulnya secara fisik itu yang akan kita standardisasi secara keseluruhan. Jadi paling tidak layanan kesehatan itu itu akomodasi untuk pelayanannya standar minimumnya terpenuhi syarat-syaratnya,” tutur Raden.

Kendati begitu, dari sisi standardisasi layanan penindakan untuk menyembuhkan pasien, menurutnya, tidak termasuk ke dalam sistem KRIS. Sebab, itu sudah ada dalam Standard Operating Procedure (SOP) masing-masing profesional penindakan di rumah sakitnya.

“Kalau standar tindakan kembalikan ke SOP RS, SOP profesional kalau dia operasi jantung, kanker, dan sebagainya sudah tentu itu ada standar yang beda, yang tidak bisa dibiarkan dengan standar pelayanan minimal dari sisi sarana dan prasaran,” kata Raden lagi.

error: Content is protected !!