Kelebihan Pasokan Listrik PLN Sebabkan Stagnasi Transisi Energi di Indonesia

cnbc-indonesia.com – Indonesia memerlukan investasi tambahan 8 miliar dollar AS per tahun untuk pengembangan energi baru terbarukan (EBT) jika ingin mencapai target net zero emission Indonesia pada 2060 yang ambisius, menurut International Energy Agency.

Ironisnya perkembangan investasi EBT nasional relatif stagnan dalam lima tahun terakhir, dengan suntikan dana pengembangan yang tak sampai 2 miliar dollar AS per tahun.

Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol pun menilai target ambisius roadmap energi hijau Indonesia akan sulit tercapai tanpa reformasi kebijakan yang serius dan dukungan internasional.

“Untuk mencapai target net zero dan mendapat semua benefit ini, diperlukan tambahan 8 miliar dollar AS (investasi) setiap tahun diperlukan. Oleh karena itu selain upaya internal, kolaborasi internasional sangat penting,” ujarnya dalam acara “Press Conference on Reporting Launching: An Energy Sector Roadmap to Net Zero Emission in Indonesia” sebagai rangkaian agenda G20 pada Jumat (2/9/2022) di Bali.

Lebih lanjut, dia memperingatkan tanpa melakukan transisi energi yang lebih hijau, Indonesia juga akan sulit mencapai target ekonomi lainnya, yakni menjadi negara maju pada 2045.

Adapun hingga akhir tahun ini, proporsi EBT dalam bauran energi Indonesia diperkirakan akan turun menjadi 12,7 persen.

Meski kapasitasnya terus bertambah, komposisi energi hijau dalam energi campuran nasional lima tahun terakhir cenderung statis hanya mendapat “jatah” 12-14 persen.

Padahal pemerintah hanya memiliki waktu tiga tahun lagi untuk mengejar target 23 persen energi hijau nasional sesuai komitmen Paris Agreement, yang juga disepakati dalam RUPTL PLN 2021-2030.

Oversupply dengan energi batu bara

Direktur Jenderal Kelistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana dalam laporan kinerjanya awal tahun ini menerangkan bahwa penurunan proporsi EBT terjadi karena masuknya tambahan daya dari PLTU baru bagian proyek 35 Gigawatt (GW), yang kontraknya dengan IPP bersifat “take or pay” (TOP).

“Kapasitasnya (EBT) naik terus, tetapi energi mixnya turun karena banyak PLTU yang harus dioperasikan. Beberapa datang dari IPP beberapa diantaranya TOP (contract take or pay), listriknya harus dibeli jadi PLN harus menghidupkan PLTU-PLTU tersebut, yang pada ujungnya akan mendesak dari (proporsi) EBT itu sendiri. Ini tantangan memang,” ujar dia pada dalam laporan Kinerja Ditjen Kelistrikan Kementerian ESDM awal tahun ini.

Menurut laporan kementerian ESDM sampai akhir 2022 tambahan pasokan dari proyek 35 GW, yang progresnya diharap mencapai 65,8 persen, akan meningkatkan dominasi energi batubara dalam bauran energi nasional hingga 68,7 persen.

Sementara itu, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo pada Februari lalu mengatakan tambahan pasokan dari proyek strategis nasional itu akhir tahun ini sudah membuat Pulau Jawa kelebihan 5 GW.

Pasalnya pasokan listrik bertambah sekitar enam gigawatt (GW), sedangkan penambahan permintaan atau demand hanya sekitar 800 megawatt (MW).

PLN dalam keterangan tertulisnya kepada Kompas.com mencatat bahawa hingga Juli 2022, sistem Jawa Madura dan Bali memiliki daya mampu sebesar 38.652 MW dengan beban puncak sebesar 28.552 MW, atau terdapat kelebihan daya mencapai 10.100 MW.

Peringatan masalah oversupply dari energi batubara ini sebenarnya sudah diwanti-wanti oleh Kementerian ESDM, yang juga ditindaklanjuti dalam perubahan RUPTL yang dinilai lebih “lebih hijau” karena menargetkan 51,6 persen EBT dalam bauran energi Indonesia pada 2030.

“Dampak Covid-19 berpengaruh pada pertumbuhan perekonomian yang juga berdampak pada pertumbuhan (konsumsi) listrik. Ini menyebabkan beberapa sistem besar seperti sistem kelistrikan jawa-bali dan sistem sumatera berpotensi oversupply,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Alam Arifin Tasrif dalam webinar desiminasi RUPTL PLN 2021 sd 2030 akhir tahun lalu.

Oleh karena itu, untuk membuka ruang yang cukup besar untuk energi terbarukan dalam rencana kelistrikan, pemerintah dan PLN sebagai badan usaha akan menghentikan pembangunan PLTU yang baru, kecuali yang saat ini sudah komited dan dalam tahap konstruksi.

Pemerintah melalui Kementerian ESDM juga mendorong pembangunan PLTS lebih besar dibanding RUPTL sebelumnya, mengingat harga pembangunannya yang semakin murah dan lebih cepat untuk pencapaian target 23 persen bauran ebt pada 2025.

Pencapaian target bauran EBT juga akan tetap dipenuhi dengan co-firing PLTU dengan biomassa, dengan tetap memperhatikan lingkungan untuk ketersedian feedstock.

Untuk mengatasi masalah kelebihan pasokan listrik PLN , Direktur Mega Proyek dan Energi Baru Terbarukan PLN Wiluyo Kusdwiharto mengatakan kepada Kompas.com pada Senin (29/8/2022) bahwa PLN juga berupaya meningkatkan demand listrik, yaitu dengan menambah ceruk pasar baru untuk meningkatkan permintaan listrik yang produktif.

“Serta melalui berbagai bundling dan promo untuk meningkatkan kenyamanan pelanggan, misalnya promo tambah daya, discount home charging untuk pemilik kendaraan listrik, dan sebagainya,” tambah dia.

Pengaruh oversupply ke investasi EBT

Sementara itu, Peneliti dan Manajer Program Trend Asia Andri Prasetiyo menilai oversupply berdampak pada investasi energi terbarukan karena secara otomatis tidak memberikan ruang pada pengembangannya.

“Dalam kondisi oversupply ini, pemerintah mau tak mau lebih menghitung kalkulasi bisnis, pasti akan memprioritaskan PLTU yang sudah kontrak take or pay, karena terpakai tak terpakai energi yang dihasilkan tetap harus dibayar,” ujar Andri.

Dia mengkritisi bagaimana perkembangan pembangunan grid seharusnya menyesuaikan dengan kebutuhan.

Masalahnya dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan demand listrik nasional minim seturut dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah atau bahkan negatif. Padahal sejak 2014 pemerintah telah memasang target pertumbuhan ekonomi yang sangat ambisius dengan proyek penyediaan listrik yang sangat besar.

“Sudah terlanjur. Kita punya target penambahan EBT 2030 sampai 23 persen, kemungkinan besar akan sangat sulit tercapai dengan kondisi sekarang. Bagaimana mungkin misalnya ingin menarik investasi EBT tapi ruang dalam jaringan atau grid tidak ada karena sudah dipenuhi listrik existing? jelas Andri.

Adapun sejumlah transisi energi yang diajukan pemerintah, menurutnya, masih tidak memihak pengembangan EBT.

Misalnya dalam penyusunan RUU EBET oleh pemerintah bersama DPR, yang dinilai lebih banyak menitikberatkan ke ‘energi baru’, seperti pemberian insentif yang justru diberikan kepada co-fairing yang diklaim melakukan inovasi dalam pembangkit konvensional.

Pemerintah juga memilih penggunaan biomassa yang secara teknis masih siklus produksinya masih kontroversial, karena dikhawatirkan tidak “hijau” di hulunya karena adanya risiko proses clearing lahan untuk bahan bakunya.

Oleh karena itu dia pun menilai pengembangan EBT dari biomassa kurang tepat dalam konteks transisi energi.

“Kalau Rencana transisinya masih tetap memberikan ‘napas’ bagi batubara dengan cara-cara misalnya biomas itu kan sebenarnya untuk menjustifikasi batu bara juga. Energi terbarukan akhirnya sangat sulit untuk masuk karena lawannya gak sepadan,” pendapat Andri.

Untuk bisa berkembang di Indonesia, EBT menurutnya perlu dilindungi dengan regulasi sehingga mereka bisa berkompetisi dengan energi fosil telah mendominasi sistem kelistrikan nasional selama ini.

Menyinggung dampak kelebihan pasokan listrik PLN, Peneliti IEEFA Putra Adhiguna juga menyorot bagaimana kondisi kelistrikan nasional itu berpotensi menimbulkan konflik kepentingan di PLN, sebagai gatekeeper kelistrikan di Indonesia.

Dia menyinggung kebijakan rooftop solar yang dalam perkembangannya dikritisi karena PLN dengan pertimbangan internal memberikan pembatasan dengan hanya memperbolehkan 10-15 persen kapasitas.

Padahal pemerintah sudah memberikan lampu hijau untuk pengembagan PLTS seluas-luasnya untuk komersil maupun rumah tangga melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 26 tahun 2021.

“Orang yang tadinya mau investasi jadi mundur lagi (karena pembatasan PLN),” ujar Putra.

Dia menambahkan bahwa implikasi utama oversupply terlihat dari bagaimana PLN mencoba menyeimbangkan kebutuhannya untuk bertahan hidup dan membuka pintu bagi investor EBT masuk.

Di sisi lain, komitmen PLN mendorong investasi energi yang lebih hijau sebenarnya terlihat dalam upaya lelang, misalnya untuk program dediselisasi. Hanya, program ini diharapkan dapat berlangsung secara berkala untuk tetap mempertahankan minat investor.

“Investor pasti akan tertarik dengan lelang tapi mereka juga perlu rencana yang lebih jelas dalam jangka panjang 3-5 tahun. Jadi mereka bisa mengatur ‘napas’ jika misalnya tidak menang pada periode ini, mereka bisa mengatur (perencanaan) untuk lelang berikutnya,” tutur dia.

“Kita harus mencari balancing point antara bagaimana industri baru ini bisa masuk, bagaimana si pengembang (EBT) bisa mengembangkan resource-nya, ketiga bagaimana pln bisa mendapatkan bagian atau jatah yang reasonable untuk mereka juga bisa bertahan hidup. Jadi memang ada 3 pihak harus urun rembuk,” tambahnya.

Bahaya stagnasi transisi energi

Senada dengan peringatan yang disampaikan Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol, Peneliti IEEFA, Putra menilai pengembangan energi hijau kedepannya bisa berpengaruh pada pengembangan ekonomi nasional secara lebih luas.

Menurut dia, ini terlihat dari tren yang dicetuskan industri-industri Barat melalui inisiatif RE100, yang mendorong komitmen suatu perusahaan dan investor untuk memperhatikan catatan carbon footprint aktivitas industrinya.

Dalam perkembangannya kini, perhatian terkait proses produksi yang lebih “hijau” sudah masuk hingga layer-layer yang lebih dalam dari sub-sub kontraktor hingga supplier penyedia bahan baku suatu produk.

Di indonesia sendiri, tren ini terlihat dari mulai banyak diterbitkannya Renewable Sertifikat yang diterbitkan PLN, sebagai bentuk komitmen dan tanggung jawab kepada publik seiring meningkatnya kesadaran akan isu perubahan iklim.

Indonesia menurut peneliti IEEFE harus mulai melihat pada perkembangan China dan Vietnam, yang meski masih banyak menggunakan energi fosil kini mulai mengembangkan EBT dengan cepat.

“Implikasinya adalah sebagai pusat pabrikasi dunia, ketika mereka mulai bergeser ke arah energi terbarukan mereka pasti akan mulai menerapkan standar yang sama untuk yang lain,” ungkap Putra.

“Jika China sudah mengadopsi (EBT) maka everybody else has to adopt, dan ini sebenarnya sudah terlihat di Vietnam,“ ujar Putra.

Melihat tren ini, dia pun mengingatkan agar dalam periode di mana banyak pihak mulai mengadopsi energi berbasis energi terbarukan “jangan sampai PLN di tengah-tengah menjadi hambatan”.

Investasi energi terbarukan (EBT) di Indonesia menurut data Kementerian ESDM turun sebesar 39,1 persen pada 2016 setelah sempat mencapai 2,24 miliar dollar AS pada tahun sebelumnya.

Sejak itu, angka investasinya tidak pernah mencapai lebih dari 2 miliar dollar AS hingga 2021, dengan penurunan tercatat pada 2018 dan 2020, masing-masing 1,5 miliar dollar AS dan 1,36 miliar dollar AS.

Adapun sejak 2017 hingga 2022 investasi EBT hanya mencakup 5,64 persen rata-rata total investasi sektor ESDM.

Di sisi lain sepanjang 2016 sampai 2021 PLN terus mengalami kelebihan daya dilihat dari penghitungan daya mampu dan beban puncak per tahun.

Tren kelebihan daya membengkak tiga kali lipat lebih pada dari 2016 ke 2017 hingga mencapai 10.813 MW.

Rata-rata pertumbuhan surplus energi nasional 2017-2021 kemudian mencapai 18,2 persen pertahun, dengan batu bara masih mendominasi bauran energi nasional 58-63 persen.