Mencegah Kasus Pencemaran Sirup Obat Terulang

Mencegah Kasus Pencemaran Sirup Obat Terulang

cnbc-indonesia.com – pandemi Covid-19 yang mengakibatkan 667 juta kasus infeksi dan 6,7 juta kematian di seluruh dunia mereda, kini kasus gagal ginjal akut progresif atipikal (GGA-PA) pada anak menyeruak. Kasus ini bermula di Gambia, Afrika Barat. Sebanyak 28 anak meninggal dunia setelah ginjalnya bermasalah akibat mengonsumsi sirup parasetamol untuk mengatasi demam.

Parasetamol sebenarnya termasuk obat yang aman, dengan kategori B menurut FDA, artinya pada penelitian dengan hewan percobaan, parasetamol tidak menimbulkan efek yang membahayakan.

Investigasi dan hasil pengujian otoritas obat di Gambia terhadap sirup parasetamol yang dikonsumsi telah menunjukkan adanya cemaran senyawa etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang berasal dari bahan pelarut untuk memperbaiki solubilitas parasetamol yang kurang larut di dalam air.

Kasus di Gambia itu menjadi peringatan dini bagi seluruh dunia, termasuk di Indonesia, untuk melakukan pengetatan pengawasan terhadap adanya kemungkinan cemaran EG dan DEG pada sirup obat yang beredar di negaranya.

Di Indonesia, sebagaimana dilaporkan laman Kemenkes RI, kasus GGA per-3 November 2022 tercatat sebanyak 323 kasus. Rinciannya, 34 masih dirawat, 99 kasus sembuh, dan 190 kasus kematian. Walau mengalami penambahan jumlah kasus baru dan kematian, tetapi tren menunjukkan penurunan bila dibanding data per-18 Oktober 2022.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) melansir bahwa penyebab tunggal GGA misterius ini belum ada. Diduga GGA dapat disebabkan oleh adanya multisystem inflammatory syndrome in children (MIS-C) usai menderita Covid-19.

Faktor penyebab lainnya akibat virus influenza, adenovirus, bakteri leptospira, dan cemaran senyawa kimia seperti EG dan DEG juga turut menyumbang kemungkinan penyebab terjadinya GGA.

Dari hasil pengawasan dan pengujian Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) per-27 Desember 2022 terhadap 508 merk sirup yang beredar di Indonesia yang berasal dari 49 industri farmasi, telah memenuhi ketentuan terhadap batas cemaran EG dan DEG pada sirup obat.

BPOM juga telah melansir sirup obat yang ditarik dari peredaran setelah terbukti mengandung cemaran EG dan DEG di atas ambang persyaratan, yaitu 0,1 persen dengan Tolerable Daily Intake (TDI) sebesar 0.5 mg/kg BB/hari.

Produk yang dicabut Nomor Izin Edar (NIE)-nya yaitu 6 produk sirup dari PT Yarindo Farmatama, 14 produk dari PT Universal Pharmaceutical, 49 produk dari PT Afi Farma, 6 produk dari PT Ciubros, 9 produk dari PT Samco, 32 produk dari PT Rama Emerald, serta 1 sertifikat CDOB CV Samudra Chemical. Distributor obat atau pedagang besar farmasi (PBF) ini terbukti menyuplai bahan baku pelarut yang terbukti melebihi ambang batas cemaran EG dan DEG.

Adanya cemaran EG dan DEG ini terbukti berasal dari empat jenis pelarut yang digunakan pada industri farmasi, yaitu propilen glikol (PG), polietilen glikol (PEG), sorbitol, dan gliserol. Keempat pelarut ini lazim digunakan dalam formulasi sediaan cair untuk memperbaiki sifat kelarutan yang kurang baik dari bahan baku seperti parasetamol.

Dalam aspek Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), industri farmasi wajib memenuhi aspek keamanan dan mutu produk akhir, termasuk bahan baku obat. Untuk itu industri farmasi wajib memastikannya melalui certificate of analysis (CoA) setiap bahan baku atau pemastian mutu melalui uji laboratorium.

Setiap bahan baku yang digunakan, termasuk zat aktif, bahan penolong dan bahan tambahan, harus memiliki tingkatan pharmaceutical grade (tingkat farmasi), artinya memiliki kualitas yang baik untuk farmasi dan cemarannya sangat rendah sesuai dengan persyaratan Farmakope Indonesia (FI).

Adanya pemasukan bahan baku yang digunakan, yang bukan pharmaceutical grade, tetapi chemical grade memiliki kualitas yang lebih rendah dan cemaran yang jauh di atas ambang persyaratan FI. Hal ini disebabkan karena harga bahan baku chemical grade jauh lebih murah ketimbang pharmaceutical grade.

Sisi inilah yang dimanfaatkan industri dan distributor farmasi nakal, yang ingin mendapatkan profit yang lebih besar dengan mempertaruhkan nyawa anak-anak negeri ini.

Pengawasan Bahan Baku Obat Kewenangan Siapa?

Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Pasal 105 ayat 1 menyebutkan, sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan obat harus memenuhi syarat Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya. BPOM, sesuai Pasal 4 Perpres Nomor 80 Tahun 2017 Tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, memiliki kewenangan dalam menerbitkan izin edar produk, pengujian obat dan makanan, melakukan intelijen dan penyidikan serta pemberian sanksi administratif.

Pertanyaannya, pengawasan bahan baku merupakan kewenangan siapa? Bahan baku obat yang termasuk dalam non-larangan dan pembatasan (non-lartas) seperti keempat jenis pelarut di atas, tidak membutuhkan Surat Keterangan Impor (SKI) dari BPOM dalam importasi ke negeri ini.

Keempat jenis pelarut tersebut juga digunakan di industri kimia seperti pada industri radiator kendaraan dan industri cat. Hal ini juga menjadi salah satu kelemahan masuknya bahan baku non-farmasi ke dalam rantai produk farmasi.

Untuk mengantisipasi hal di atas, BPOM perlu dilibatkan dan diberi kewenangan dalam pengawasan keamanan (safety), kemanfaatan (efficacy) dan mutu (quality) obat dari hulu hingga hilir, termasuk dalam importasi bahan baku obat. Demikian juga bahan baku non-lartas perlu diatur regulasinya di negeri ini.

Hal ini dimaksudkan agar ada kejelasan kewenangan pengawasan chemical grade sehingga tidak sampai masuk mencemari rantai pharmaceutical grade. Adanya kewenangan untuk pengawasan di sisi hilir tanpa kewenangan pegawasan di sisi hulu, mengakibatkan produk akhir bukan saja obat tetapi kemungkinan produk lain seperti kosmetika, obat tradisional, dan vaksin dapat tercemar bahan baku yang non-pharmaceutical grade.

Untuk mencegah kasus GGA-PA kembali menyeruak dan memakar korban, DPR perlu bergerak cepat dengan merumuskan UU pengawasan obat dan makanan.

Sebagai benchmarking dengan negara lainnya, Ministry of Food and Drug Safety (MFDS) Korea Selatan memiliki UU tersendiri untuk pengawasan produk obat dan makanan, yaitu UU Functional Health Food Act, Pharmaceutical Affairs Act, Cosmetics Act dan Medical Device Act. Australia dan Selandia Baru melalui lembaga Food Standards Australia New Zealand (FSANZ) memiliki regulasi UU Food Standard Australia New Zealand 1991. Arab Saudi melalui lembaga Saudi Food and Drug Authority (Saudi-FDA) memiliki regulasi UU Food Act dan UU Food and Drug Authority Act.

Indonesia, sebagai salah satu negara besar dan terbesar di kawasan Asia Pasifik dengan penduduk 270 juta, dan diprediksi pada tahun 2045 sebagai negara ekonomi terbesar ke empat di dunia, sangat disayangkan bila BPOM sebagai institusi garda terdepan dalam pengawasan obat dan makanan tidak dibentengi dengan UU pengawasan obat dan makanan. UU ini diharapkan akan memberikan kewenangan yang lebih besar bagi BPOM dalam pengawasan keamanan, kemanfaatan, serta mutu obat dan makanan dari hulu ke hilir.

Bila hal ini tidak segera dilaksanakan, bisa jadi kasus EG dan DEG berikutnya dalam versi yang berbeda akan kembali muncul di Indonesia dengan jumlah korban yang lebih banyak. Kita berharap DPR segera meloloskan dan mengesahkan UU Pengawasan Obat dan Makanan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

error: Content is protected !!