Peluang Investasi Tetap Terbuka di Tengah Tantangan Resesi

Peluang Investasi Tetap Terbuka di Tengah Tantangan Resesi

cnbc-indonesia.comJakarta, CNBC Indonesia – Awan gelap perekonomian yang disinyalir bakal menerpa dunia diyakini tidak akan terlalu memukul Indonesia. Ekonom dan Mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri optimistis Indonesia tidak terdampak signifikan dari gejolak perekonomian global, khususnya pada 2023.

Hal tersebut dikatakan Chatib dalam acara HSBC Wealth and Personal Banking Wealth Forum 2022: “Soaring Above the Storm-Recession or Investment Opportunity” di Jakarta, Rabu (23/11/2022). Menurut Chatib, mengacu eksposur ekspor Indonesia terhadap Gross Domestic Product (PDB) yang relatif kecil, yakni hanya 25%, dampak terhadap Indonesia juga tidak akan besar jika terjadi guncangan perekonomian global.

Sehingga, ia meyakini perekonomian Indonesia akan mampu menghadapi guncangan perekonomian global lebih baik. Apalagi bila dibandingkan dengan negara lain, seperti Singapura yang memiliki rasio ekspor terhadap PDB hingga 180%.

“Maka saya bisa katakan Indonesia itu lebih baik dari Singapura karena rasio ekspor terhadap GDP (PDB) kita itu paling kecil,” ungkap Chatib.

Meski demikian, lanjutnya, Indonesia bukan berarti kebal terhadap dinamika global dan ancaman resesi tersebut. Ia mengatakan, perekonomian Indonesia juga berpeluang besar mengalami perlambatan. Menurut dia, perekonomian Indonesia mengalami perlambatan karena Indonesia mengandalkan konsumsi rumah tangga.

Adapun saat ini konsumsi rumah tangga mengalami penurunan karena masyarakat mewaspadai adanya resesi di tahun 2023. Di samping, itu perusahaan swasta pun disebut akan menurunkan nilai investasinya.

Untuk mengatasi hal itu, ungkap Chatib, perekonomian Indonesia perlu mengandalkan belanja pemerintah. Namun, belum lama ini Menteri Keuangan Sri Mulyani menetapkan bahwa anggaran belanja negara tahun 2023 defisit di bawah 3%.

Defisit APBN tentu bisa dibaca sebagai upaya pemerintah lebih aktif mendorong laju perekonomian domestik.

Adapun per Oktober tahun ini, APBN mengalami defisit 0,91% terhadap PDB akibat belanja subsidi energi. Meningkatnya konsumsi energi menunjukkan bahwa roda perekonomian nasional mulai pulih dari dampak pandemi Covid-19 beberapa tahun lalu.

Chatib pun memprediksikan bahwa perekonomian nasional akan tumbuh di bawah 4% dengan adanya gejolak perekonomian saat ini, meski Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,1%.

Dalam kesempatan yang sama, optimisme juga disampaikan oleh Director PT Ashmore Asset Management Indonesia, Arief Cahyadi Wana. Menurutnya, ketidakpastian yang melanda perekonomian global sudah mulai sedikit mereda.

Ia mengungkapkan, bahwa saat ini risiko inflasi dan kenaikan suku bunga sudah mencapai puncak. Artinya, upaya bank sentral di berbagai negara dalam mengerek suku bunga sudah mereda.

Kondisi ini pun membawa peluang untuk berinvestasi di Indonesia, di mana Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuan BI atau BI 7-Day Reverse Repo Rate ke level 5,25%.

Selain itu, Arief menilai, berbagai sektor masih memiliki peluang untuk bertumbuh di tengah kondisi global yang penuh ketidakpastian, salah satunya sektor komoditas. Sektor ini disebut bisa menjadi pilihan karena harga komoditas, khususnya energi, masih cukup atraktif dalam 3 sampai 6 bulan.

Adapun sektor lainnya yang masih menarik bagi investor adalah perbankan dan telekomunikasi.

“Tiga sektor yang kita rekomendasi pertama komoditas, terutama yang berhubungan dengan energi. Kedua sektor perbankan. Ketiga adalah telekomunikasi,” ungkapnya.

Dia menjelaskan, sektor perbankan saat ini mengalami pemulihan setelah terhantam pandemi beberapa tahun lalu. Di samping itu, kebutuhan pinjaman perbankan juga sudah mengalami pertumbuhan.

Hal ini terindikasi dari tren penyaluran kredit perbankan yang positif atau sebesar 10,62% dalam setahunan (year-on-year/yoy) pada Agustus dan 11% yoy pada September 2022.

Sedangkan untuk sektor telekomunikasi, lanjut Arief, saat ini tengah mengalami konsolidasi. Sebagai contoh, harga paket data internet yang mengalami kenaikan.

Di sisi lain, dengan adanya peningkatan tren suku bunga dan inflasi, obligasi menjadi instrumen keuangan yang bisa dimanfaatkan investor. Alasannya adalah karena harga obligasi mengalami penurunan seiring kenaikan suku bunga.

“Memang kalau harga suku bunga naik, harga obligasi turun. Tapi saya lihat ini menjadi kesempatan untuk juga menambah investasi di obligasi,” tegas Arief.

Diketahui, naik-turunnya harga obligasi disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya ekspektasi pasar terhadap suku bunga karena investor mencari instrumen investasi yang bisa memberikan imbal hasil lebih tinggi.

Sehingga untuk menyaingi kenaikan tingkat suku bunga dan mempertahankan daya tariknya kepada para investor, valuasi obligasi mengalami penurunan.

Sementara itu, ekspektasi pasar telah dipengaruhi berbagai macam faktor, seperti nilai suku bunga di luar negeri, kebijakan pemerintah, tingkat inflasi, hingga ekspektasi pertumbuhan PDB.

Arief juga menekankan bahwa tren penurunan harga obligasi saat ini sudah cukup banyak. Ini pun menjadi peluang bagi para investor untuk memburu instrumen obligasi di harga yang menarik.

“Saya rasa sekarang harus memberanikan menambah untuk porsi investasi. Sekarang (valuasi) obligasi merefleksikan kenaikan suku bunga,” papar Arief.

Sedangkan terkait dinamika geopolitik dunia dan kenaikan inflasi di sejumlah negara, dia menilai, investor tidak perlu menunggu atau wait and see. Menurut Arief, ke depan kenaikan suku bunga tidak terlalu besar dan risiko geopolitik sedikit melandai.

Hal tersebut tentu menumbuhkan optimisme Arief akan potensi investasi yang lebih baik lagi di tahun depan. Bahkan, ia yakin dalam 6 bulan ke depan situasi akan semakin membaik.

Diketahui dalam HSBC Wealth Forum ini, HSBC kembali menyarankan para nasabah untuk mengawali 2023 dengan melakukan financial health check melalui strategic financial planning yang komprehensif, dibantu oleh para Relationship Manager.

Hal ini penting dilakukan agar nasabah dapat mengatur ulang strategi pengelolaan investasi dan wealth management mereka secara terpadu. Sehingga nasabah dapat menyesuaikan dengan kebutuhan, tujuan, dan profil risiko masing-masing yang dapat berubah setiap saat dan bergantung pada kondisi serta situasi.

Sebagai informasi, HSBC Indonesia baru-baru ini memenangkan penghargaan internasional “The Best Wealth Manager” untuk yang kelima kalinya dari The Asset Triple A sejak 2018. Penghargaan ini merupakan wujud kepercayaan dan kesetiaan para nasabah terhadap HSBC Indonesia.

HSBC Indonesia berkomitmen untuk selalu menjadi partner bagi setiap nasabah dalam merencanakan masa depan lebih baik. Salah satunya melalui pengelolaan portofolio keuangan yang dipersonifikasi, edukasi wealth management secara berkala, dan inovasi digital untuk kemudahan investasi.

error: Content is protected !!