Bisnis  

Pendanaan Jadi Kendala Hilirisasi Mineral

Pendanaan Jadi Kendala Hilirisasi Mineral

cnbc-indonesia.com – JAKARTA – Sejumlah masalah masih dihadapi pelaku usaha dalam merealisasikan proyek hilirisasi mineral, seperti nikel. Masalah utama adalah ketersediaan dana, selain selain masalah lainnya seperti pasokan energi, pembebasan lahan, perizinan, dan isu lainnya.

“Pemerintah berupaya membantu masalah pendanaan ini dengan mempertemukan pihak perusahaan dengan perbankan untuk melihat peluang potensi pengembangan smelter nikel,” kata Prof Irwandy Arif, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara, acara workshop Peningkatan Kapasitas Media Sektor Minerba bertema “Creating Good News for a Better Minerals Sector” yang diselenggarakan Energy and Mining Editor Society (E2S), di Jakarta, Rabu (8/3).

Hingga saat ini tercatat ada sembilan fasilitas smelter nikel di bawah naungan Kementerian ESDM. Lima di antaranya sudah berproduksi, dan dua masih fase konstruksi. Dua lainnya masih dalam perencanaannya.

Roy A Arfandy, Direktur Utama PT Trimegah Bangun Persada, holding dari Harita Nickel, mengakui adanya kendala pendanaan saat awal pengembangan smelter nikel. Dia berharap adanya dukungan pemerintah dalam mengatasi masalah pendanaan Ini.

“Setengah mati cari pinjaman. Pabrik MHP (mixed hydroxied predipitate) kami investasinya besar, US$ 1,2 miliar. Untuk pendanaan memang perlu dibantu. Bank pemerintah banyak menahan untuk pendanaan karena masalah sumber listrik,” kata dia.

Saat ini Harita juga sedang mengembangkan fasilitas produksi lanjutan untuk menghasilkan nikel sulfat dan kobalt sulfat, yang merupakan material utama baterai kendaraan listrik.

Roy mengungkapkan di Halmahera, Maluku Utara kebutuhan listrik berasal dari pembangkit yang dibangun perusahaan, yaitu pembangkit batu bara. “Kami sudah coba menggunakan panel surya, tapi kapasitasnya tidak besar dan butuh lahan yang sangat luas, ratusan hektare. Kami juga butuh izin lebih lanjut untuk eksplorasi lanjutan,” ujarnya.

Roy mengatakan saat ini pihaknya tengah mempersiapkan initial public offering (IPO) guna mendapatkan pendanaan proyek High Pressure Acid Leaching (HPAL) kedua.

“Sekarang sudah mulai banyak bank yang masuk ke industri nikel. Waktu mulai bangun, masih greenfield terpaksa pakai dana sendiri, sudah mulai setengah jadi baru bank masuk. Awalnya pasti susah. Sekarang sudah mulai banyak. Malah ada bank yang tanya apakah akan ada proyek HPAL kedua. Jadi untuk pendanaan, ada 3 opsi, bank, obligasi, dan IPO.”

Haykel Hubeis, Sekjen Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), mengakui kendala pendanaan, khususnya pada bank-bank lokal. Di sisi lain, perusahaan asing justru ebih dominan dalam melihat potensi. “Entah dari China, India atau negara asia lainnya seperti Jepang, malah melihat potensi. Memang smelter perlu effort dan tanggung jawab besar. Perlu Satgas Hilirisasi,” katanya.

error: Content is protected !!