Bisnis  

Kisah Hary Tanoesoedibjo, ‘Raja Tawuran’ yang jadi Konglomerat Media hingga Keuangan

Kisah Hary Tanoesoedibjo, ‘Raja Tawuran’ yang jadi Konglomerat Media hingga Keuangan

cnbc-indonesia.com – JAKARTA – Konglomerat Hary Tanoesoedibjo Bank MNC Internasional Tbk. (BABP) telah menyampaikan rencananya untuk merger bersama bank milik taipan James Riady PT Bank Nationalnobu Tbk. (Nobu).

Merger itu rencananya akan terlaksana pada Agustus 2023.

Tentu, aksi merger yang dilakukan Hary Tanoesoedibjo bukanlah suatu hal yang baru. Justru, strategi merger dan akuisisi menjadi ‘kunci penyelamat’ dirinya kala menghadapi krisis moneter 1998.

Bahkan, berkat kecerdikannya dalam bernegosiasi, membuat Hary Tanoesoedibjo berhasil membangun konglomerasi bisnis media, seperti RCTI, MNC TV, GTV, dan iNews.

Tak heran, jika dirinya masuk ke dalam 50 orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan bersih mencapai US$1,09 miliar atau setara dengan Rp16,7 triliun.

Lantas, seperti apa sosok dari Hary Tanoesoedibjo ini? Berikut ulasan Bisnis selengkapnya.

Hary Tanoesoedibjo yang lahir di Jawa Timur pada 1965 bercerita, sebelum bisa sesukses sekarang, ternyata kenakalan yang dilakukan pada masa remajanya menjadi titik baliknya dalam mengembangkan usaha.

“Jadi, dulu tuh saya bandel. Jarang belajar, nyontek terus. Suka pimpin tawuran dengan sekolah lain sampai harus mendapat skorsing selama enam bulan,” jelasnya dilansir dari Daniel Mananta Network, Selasa (7/3/2023).

Kala itu, perasaan malu dan marah menyelimuti dirinya. Bahkan, pribadinya pun menjadi sangat tertutup dan menjauh dari banyak orang.

Namun, ada satu momen, di mana Hary melihat sang Ibu menangis.

“Saya enggak pernah bicara dengan Ibu saya. Tapi, ketika secara tidak sengaja melihat Ibu saya menangis. Di situ saya langsung bertekad untuk mengubah diri,” ungkapnya.

Perjuangannya dalam mengubah diri dari malas menjadi rajin tidaklah mudah.

“Saat itu saya cari cara bagaimana belajar jadi suatu kebiasaan. Mulai dari mata dibalsemin sampai belajar harus berdiri, jadi kalau ngantuk pasti jatuh,” ceritanya.

Sempat menganggur beberapa waktu dan kembali lagi untuk mengenyam pendidikan. Maka, untuk mengejar ketertinggalan, akhirnya dia memutuskan menyelesaikan studi dengan mengikuti paket C.

Seakan memperbaiki diri, dia pun belajar dengan keras hingga mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi S-1 serta mendapatkan beasiswa S-2 di Canada dengan gelar Master of Business Administration pada 1989.

Merantau dari Surabaya ke Jakarta

Setelah menyelesaikan studinya, Hary pun pulang ke Tanah Air. Sesampainya di Indonesia, dia pun mengutarakan niatannya untuk menekuni bidang usaha dan meminta restu untuk merantau ke Jakarta.

“Saat itu usia saya masih 24 tahun, tepatnya di 1990. Nah, saya memutuskan untuk memboyong istri dan anak saya tanpa tahu Jakarta itu seperti apa,” ungkapnya dilansir dari sesi wawancara bersama Gilbert Lumoindong.

Hal yang mendasari dirinya berani untuk merantau, karena perputaran ekonomi Indonesia saat itu ada di Jakarta.

“Awal karier ya di perusahaan broker. Lalu, mengalami krisis moneter 1998 sampai 2001. Saya tahu modal saya kecil, maka saya lakukan merger dan akuisisi dengan mengumpulkan asing. Jual beli perusahaan” jelasnya.

Besarnya keinginan untuk membuat ‘legacy’ alias warisan untuk anak cucunya, membuat dia memanfaatkan kesempatan pasca tumbangnya Orde Baru dengan melakukan merger dan akuisisi.

Mulai dari, mengambil alih sebagian saham PT Bimantara Citra Tbk, milik keluarga Presiden Soeharto, dan kemudian diubah namanya menjadi PT. Global Mediacom Tbk.

Sejak saat itu, stasiun TV hingga radio dan koran cetak pun berada di bawah kendalinya.

Kini, Hary masih memiliki lebih dari 60 stasiun TV, stasiun radio, dan surat kabar. Beberapa lini usahanya pun telah dia wariskan kepada anak-anaknya.

Bahkan, berdasarkan Forbes, melalui perusahaan terdaftarnya MNC Land, dia membangun resor di Bali dan Jawa yang akan dikelola oleh perusahaan Donald Trump.

error: Content is protected !!