Ini Efek Ngeri Jika Indonesia Kalah di WTO, Dunia Bisa Chaos?

Ini Efek Ngeri Jika Indonesia Kalah di WTO, Dunia Bisa Chaos?

cnbc-indonesia.com – Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada pekan lalu menyebutkan bahwa Indonesia kemungkinan besar akan kalah dari proses penyelesaian sengketa dagang di Dispute Settlement Body (DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Adapun sengketa dagang ini terkait gugatan yang dilayangkan oleh Uni Eropa atas kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel Indonesia yang berlaku sejak 1 Januari 2020 lalu.

“Nggak perlu takut setop ekspor nikel. Dibawa ke WTO nggak apa-apa. Dan kelihatannya kita juga kalah di WTO. Nggak apa-apa, tapi barangnya sudah jadi dulu, industrinya sudah jadi. Nggak apa-apa, kenapa kita harus takut? Kalau dibawa ke WTO kalah. Kalah nggak apa-apa, syukur bisa menang,” papar Jokowi dalam acara ‘Sarasehan 100 Ekonom’ oleh INDEF dan CNBC Indonesia, Rabu (7/9/2022).

“Tapi kalah pun nggak apa-apa, industrinya sudah jadi dulu. Nanti juga sama. Ini memperbaiki tata kelola dan nilai tambah ada di dalam negeri,” tambah Jokowi.

Meski sampai kini belum ada putusan akhir dari WTO, namun apa yang akan terjadi bila Indonesia benar-benar akan kalah dari gugatan Uni Eropa di WTO ini?

Bila Indonesia kalah dalam penyelesaian sengketa tersebut, maka artinya mau tak mau RI kemungkinan harus membuka kembali keran ekspor bijih nikel, terutama ke Eropa. Namun, dengan pasokan bijih nikel ke dunia kembali bertambah, maka harga nikel tentunya bisa merosot.

Perlu diketahui, harga nikel pada tahun ini bisa dikatakan lebih tinggi dibandingkan tahun lalu. Harga nikel di pasar spot London Metal Exchange (LME) bahkan sempat mengalami kondisi tak biasa di mana sempat menyentuh US$ 100.000 per ton pada 8 Maret 2022 lalu. Kondisi ini akhirnya membuat perdagangan nikel di London Metal Exchange (LME) dihentikan selama beberapa hari. Lalu turun ke level US$ 48.000, dan setelahnya relatif turun, namun sudah berada di kisaran di atas US$ 20.000 per ton.

Pada 12 September 2022, harga nikel mencapai US$ 23.090 per ton. Sementara pada 2021 harga nikel rata-rata masih di bawah US$ 20.000 per ton.

Sejak pelarangan pada 2020 volume dan nilai ekspor bijih nikel mencapai titik 0. Padahal tahun sebelumnya ekspor bijih nikel nilainya mencapai US$ 1 miliar, tepatnya US$ 1,09 miliar atau Rp 16,35 triliun. Sementara volumenya mencapai 32,38 miliar ton.

Namun di balik itu ada dampak yang lebih besar jika sampai Indonesia kembali mengekspor kembali bijih nikel. Minat investor untuk menanamkan modal dalam pembangunan smelter pemurnian nikel bisa saja hilang.

Terlebih, larangan ekspor bijih nikel telah mendatangkan investasi besar ke Indonesia. Sebagai informasi, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), investasi smelter nikel di Indonesia hingga 2024 mendatang diperkirakan mencapai US$ 8 miliar atau sekitar Rp 119 triliun (asumsi kurs Rp 19.000 per US$).

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, apabila RI kalah di WTO, konsekuensinya paling tidak harus membayar kompensasi kepada pihak yang memenangkan gugatan dengan nilai yang tidak kecil. Selain kompensasi, implementasi hasil gugatan WTO berkorelasi dengan dibukanya kembali keran ekspor bijih nikel ke perusahaan di eropa.

“Meskipun ada rentang waktu pembukaan bijih nikel, tapi keputusan membuka ekspor bijih nikel sebenarnya blunder bagi daya tarik investasi terutama perusahaan China di proyek smelter. Karena 50% lebih penguasaan smelter nikel di Indonesia oleh investor China,” ujar Bhima kepada CNBC Indonesia belum lama ini.

Selain itu, Bhima menyebut jika pemerintah kalah, hal itu juga bakal berdampak pada pengembangan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia. Dimana salah satu komponen penting dalam pengembangan kendaraan listrik yakni terdapat pada sisi baterai.

Sedangkan Indonesia sendiri juga mempunyai ambisi untuk menjadi produsen baterai nomor satu dunia. Angan-angan itu diproyeksikan pupus jika benar nanti Uni Eropa memenangkan gugatan itu.

“Bisa mundur ke belakang, dimana Indonesia beli bahan baku baterai dari impor dan investor EV akan ragu bangun ekosistem industri EV di Indonesia. Mereka akan cari produsen bahan hilirisasi nikel yang siap,” kata Bhima.

Hal senada diungkapkan salah satu praktisi nikel. Menurutnya, investor smelter ini bisa saja berpindah menanamkan modalnya ke Malaysia. Pasalnya, Malaysia kini tengah gencar membangun energi baru terbarukan (EBT) besar-besaran dan ini bisa menjadi daya tarik investor untuk membangun smelter berbasis energi hijau.

“Kalau memang dibuka (keran ekspor bijih nikel), bisa ada dampak cukup signifikan pada investasi. Buat investasi bisa berdampak negatif. Menurut saya, akan ada beberapa investasi yang bisa lari ke Malaysia. Malaysia ada beberapa sumber renewable energy yang bisa segera digunakan. Ini pasti menarik dan tidak terlalu jauh dari Indonesia,” bebernya kepada CNBC Indonesia, dikutip Jumat (09/09/2022).

Namun demikian, menurutnya hasil putusan WTO tersebut nantinya kemungkinan hanya berdampak pada investor yang baru rencana akan membangun smelter, sementara untuk yang sedang membangun smelter diperkirakan masih akan tetap melanjutkan investasinya.

Perlu diketahui, pada 2021 tercatat total smelter nikel yang ditargetkan beroperasi pada 2024 mencapai 30 smelter. Dari target 30 smelter tersebut, 15 smelter sudah memiliki kemajuan pembangunan di atas 90% dan ada yang sudah beroperasi, 10 smelter masih dalam tahap pembangunan 30%-90%, dan lima smelter masih kurang 30% progres pembangunannya.

error: Content is protected !!